KATA
PENGANTAR
Puji syukur atas
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya telah menyelesaikan tugas ini dengan lancar
dan sesuai dengan ketentuan yang diberikan
oleh ibu Ir. Ermiyanti , MT
selaku Dosen Pendidikan
Pancasila.
Tugas
makalah ini merupakan salah satu tugas di bidang mata pelajaran Pendidikan Pancasila kami yang bertujuan
untuk memperoleh informasi tentang “Pancasila ditinjau
dari landasan historis”. Makalah
ini berisikan tentang informasi Pemberontakan G30S/PKI
yang terjadi pada masa PKI merajalela di Indonesia dan usaha penumpasannya.
Diharapkan Makalah
ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang pemberontakan G30S/PKI
ini.
Dengan terselesaikannya tugas makalah saya ini, maka saya
berharap telah
memenuhi tugas Pendidikan Pancasila dan mendapatkan nilai yang terbaik. Serta bermanfaat bagi teman-teman sekalian.
Saya menyadari bahwa Makalah
ini masih jauh darisempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan
Makalah ini.
Pekanbaru,
6 Oktober 2013
Penyusun
MUKHLIS
NIM. 1302121410
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………... 1
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..…………2
BAB I :
PENDAHULUAN…………………………………………………………….……. .3
A.
Latar
Belakang……………………………………………………………...….. 3
B.
Rumusan
Makalah……………………………………………………………… 3
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………..
3
BAB II : PEMBAHASAN………………………………………………………….…………4
A.
Peristiwa
Gerakan 30 September PKI………………………………………...…4
B.
Faktor-Faktor
Terjadinya G30S/PKI………………………………………...…10
C.
Tawaran
Bantuan Dari Belanda………………………………………………..16
D.
Isu
Dewan Jendral……………………………………………………………...16
E.
Isu
Dokumen Gilchrist………………………………………………………....16
F.
Isu Keterlibatan Soeharto……………………………………………………....17
G.
Pemberantasan Gerakan G30S/PKI………………………………………….....17
H.
Korban G30S/PKI………………………………………………………..…….20
I.
Pasca Kejadian……………………………..…………………………………..21
J.
Penangkapan dan Pembantaian…………………………………………...……23
K.
Supersemar………………………………………………………………..……24
L.
Pertemuan
Jenewa, Swiss…………………………………………………....…24
M.
Penumpasan
G30S/PKI………………………………………………………...25
N. Peringatan G30S/PKI……………………………………………………..……27
BAB III : PENUTUP……………………………………………………………………..….28
A. Kesimpulan………………………………………………………………....…28
DAFTAR PUSTAKA……...…………………………………………………………………29
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan
yang tersebar ke seluruh Nusantara. Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa
yang mempunyai pandangan yang tidak sama. kehidupan sosial, politik, ekonomi,
dan yang lainya tidak seimbang terutama pada saat masa penjajahan Belanda juga
pada masa Orde Lama. Untuk kesempatan kali ini materi yang akan di bahas adalah
Gerakan 30 September Partai komunis Indonesia Tahun 1965. Setiap partai komunis
di dunia, memilki garis politik yang sama. Tujuan mereka yaitu merebut kekuasaan pemerintah
dengan cara apapun. PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh
dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta,
ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan
serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan
Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita
(Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI
mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Garis politik PKI dalam usaha mencapai
tujuannya, tampak jelas sejak dari pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan
perkembangannya setelah tahun 1950 sampai meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI.
3. Mengetahui
sebab terjadinya G30S/PKI
4. Mengetahui proses pelaksanaan G30S/PKI.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peristiwa Gerakan 30 September PKI
Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI,
G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok
(Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam
tanggal 30
September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam
perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian
dituduhkan kepada anggota partai komunis.
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di
Jakarta pada awal tahun 1965
PKI merupakan partai Stalinis yang
terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Sovyet. Anggotanya
berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga
mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan
pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota.
Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan
pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung serta tersebar diseluruh daerah yang luas.
Pada bulan Juli 1959 parlemen
dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden dengan
dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan
mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno
menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi
Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional
dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat
dan militer menjadi wabah.
PKI telah menguasai banyak dari
organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezim
Demokrasi Terpimpin dan dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye
untuk membentuk "Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya.
Para petinggi militer menentang hal ini.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin
lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan
polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan
bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami
slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964,
Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap
sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan
seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965
ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar.
Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik
tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau
semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap
para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain,
termasuk angkatan bersenjata.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai
menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI
menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama,
jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Menteri-menteri
PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno
ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis". Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis". Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas
persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan untuk
pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang
terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan
mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang
berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan
massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka,
depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa
"NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan
bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI
tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan
Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatur militer dan negara
sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Peristiwa.
Peristiwa.
Sumur lubang buaya
Menjelang di
lancarkanya G 30 S/PKI, banyak sekali kegiatan – kegitan yang dilaksanaknya
oleh Biro Khusus PKI yang telah di bentuk pada tahun 1964 dengan mengadakan
beberapa kali rapat rahasia yang di ikuti oleh beberapa orang oknum ABRI. Rapat
pertama 6 September 1965 yang di laksanakan rumah Kapten Wahjudi Jl.
Sindanglaya 5, Jakarta, di ikuti oleh :
1.
Sjam Kamaruzaman
2.
Pono ( Soepono)
3.
Letnan Kolonel Untung
Sutopo (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa)
4.
Kolonel A.Latief (
Komandan Brigade Infantri I Kodam V/Jaya )
5.
Mayor Udara Suyono (
Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU Halim )
6.
Mayor A.Sigit
(Komandan Batalyon 203 Brigade Infantri I Kodam V/Jaya)
7.
Kapten Wahjudi
(Komandan Kompi Artileri sasaran Udara)
Rapat ini membicarakan tentang situasi
umum sebelum gerakan dan isu sakitnya Bung Karno. Selanjutnya Sjam melontarkan isu adanya Dewan jendral yaitu yang mengungkapkan
adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan
berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut
memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk
diadili oleh Soekarno, dan dari ABRI pun terhasut dan ikut dalam gerakan yaitu
Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon 1 Resimen Cakrabirawa (pasukan
pengawal Presiden). Sjam kemudian menyampaikan instruksi Aidit untuk mengadakan
gerakan mendahului kudeta Dewan Jendral. Setelah
rapat pertama kemudian banyak diadakan lagi rapat – rapat selanjutnya guna
membahas persiapan serangan gerakan. Diantaranya rapat ke-2 pada tanggal 9
September 1965, rapat ke-3 tanggal 13 September 1965, rapat ke-4 tanggal 15
September 1965, rapat ke-5 tanggal 17 September 1965, rapat ke-6 19 September
1965, dan rapat ke-7 tanggal 22 September 1965, ke-8 24 September 1965, ke-9
tanggal 29 September 1965.
Pada rapat-rapat setelah rapat ke -6
membahas tentang penetapan sasran gerakan bagi masing – masing pasukan yang
akan bergerak menculik atau membunuh para jendral Angkatan Darat yg di beri
nama pasukan Pasopati. Pasukan
teritorial dengan tugas menduduki gedung RRI dan gedung Telekomunikasi di beri
nama Pasukan Bimasakti kemudian
pasukan yang mengkoordinasi lubang Buaya di beri nama Pasukan Gatotkaca. Setelah persiapan terahir
selasai, rapat terahir di adakan tanggal 29 September 1965 yang dilaksanakan di
rumah Sjam, gerakan itu dinamakan “Gerakan 30 September” ( G 30 S/PKI atau
Gestapu/PKI). Secara fisik-militer gerakan di pimpin oleh Letnan Kolonel
Untung, Komandan Batalyon 1 Resimen Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden)
selaku pimpinan formal seluruh gerakan.
Pelaksanaan G30S/PKI 1965 Pada 1 Oktober 1965 dini
hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada
PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi
Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan
terhadap gerakan tersebut.Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan
bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di
masyarakat. Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok
Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya
merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948.
Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil
berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu.
Walaupun undang-undangnya sudah ada
namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara
para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA,
melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat
keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar
Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi
sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk
membersihkannya. Keributan antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tapi juga
dengan Persis dan Muhammadiya) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat
di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga
terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai
bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini
membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September
tersebut).
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa
orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal
istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol.
Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto
kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Korban keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
• Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,
• Mayjen TNI R. Suprapto
• Mayjen TNI M.T. Haryono
• Mayjen TNI Siswondo Parman
• Brigjen TNI DI Panjaitan
• Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah
seorang target namun dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya,
putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean
tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain
itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
• AIP Karel Satsuit Tubun
• Brigjen Katamso Darmokusumo
• Kolonel Sugiono
• AIP Karel Satsuit Tubun
• Brigjen Katamso Darmokusumo
• Kolonel Sugiono
Para korban tersebut kemudian dibuang
ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya.
Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober setelah
Pasca kejadian. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pasca kejadian. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno
mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu
persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian
kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua
anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi
Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak
ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan. Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan. Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di
Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala
kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan
orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat
Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen
Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan
"penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari
Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas
Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir
usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30
September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di
dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11
Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Ia memerintah Suharto untuk mengambil
"langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan
untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini
pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan
atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur
militer itu sampai Maret 1967. Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar
menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri,
ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya
diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa
ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota
dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu
pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp
tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Berapa jumlah orang yang dibantai tidak
diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang,
sementara lainnya 2.000.000 orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta
orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan bahwa:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di Pulau Bali, yang sebelum itu
dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di
permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional
Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari
Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan
atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar
di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka
yang sudah hangus. Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh
teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka.
Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan
rasialis "anti-Cina" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian
kontra-revolusioner ini dipecat secara paksa dan tidak hormat oleh pemerintah.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Sesudah kejadian tersebut, 30 September
diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1
Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan
Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di
seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September.
Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen
Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam
para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir,
film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang
dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006,
diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan
terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara
yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun
tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia,
acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain
Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasmaja, dan Putmainah.
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang
berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan
pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi
pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948, serta dituduh membunuh 6 jenderal TNI
AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965 yang di kenal dengan peristiwa
G30S/PKI. Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia
yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan
melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI
Madiun pada tahun 1948, serta dituduh membunuh 6 jenderal TNI AD di Jakarta
pada tanggal 30 September 1965 yang di kenal dengan peristiwa G30S/PKI. Tujuan
dari pemberontakan itu adalah untuk menghancurkan Negara RI dan menggantinya
menjadi negara komunis. Beruntunglah pada saat itu Muso dan Amir Syarifuddin
berhasil ditangkap dan kemudian ditembak mati sehingga pergerakan PKI dapat
dikendalikan.
Namun ,melalui demokrasi terpimpin kiprah PKI
kembali bersinar. Terlebih lagi dengan adanya ajaran dari presiden Soekarno
tentang Nasakom (Nasional,
Agama, Komunis) yang sangat menguntungkan PKI karena menempatkannya sebagai
bagian yang sah dalam konstelasi politik Indonesia. Bahkan, Presiden Soekarno
mengangap aliansinya dengan PKI menguntungkan sehingga PKI ditempatkan pada
barisan terdepan dalam demokrasi
terpimpin.
B. Faktor-faktor terjadinya G30S/PKI
Gerakan 30
September
atau yang sering disingkat G 30 S PKI,
Gestapu (Gerakan September Tiga
Puluh), Gestok (Gerakan Satu
Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha
percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai
Komunis Indonesia.
D.N. Aidit sebagai ketua PKI yang
terpilih pada tahun 1951, dengan cepat mulai membangun kembali PKI yang porak
poranda pada tahun 1948. Usaha itu berhasil baik, sehingga pemilihan umu tahun
1955 PKI berhasil menempatkan dirinya menjadi salah satu diantara empat partai
besar di Indonesia. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno
menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan
penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para
jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem
"Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi
Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat
untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang
dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara
kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan
independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan
ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves
menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin
berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi
dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga
slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin
PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu
Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI
membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan
bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat
"massa tentara" subyek karya-karya mereka. kemudian, di tahun yang
sama 1964, PKI sudah merasa partai terkuat yang mulai melakukan persiapakan
untuk melancarkan perebutan kekuasaan. Tahun 1964 di bawah pimpinan D.N. Aidit
membentuk Biro Khusus Langsung yaitu, Sjam Kamaruzaman, Pono (Soepono
Marsudidjojo), dan Bono Walujo. Biro khusus ini yang aktif melakukan pematangan
situasi bagi perebutan kekuasaan dan melakukan Inflitrasi ke dalam tubuh ABRI.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah
yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi
antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut
dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap
tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama). Kemungkinan
besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai
komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat
Menjelang lahir 1965 Biro khusus PKI terus
melancarkan aksinya dengan melakukan pertemuan – pertemuan rahasia yang
kesimpulannya akan dilaporkan kepada D.N.Aidit sebagai pimpinan tertinggi
gerakan. Sjam Kamaruzaman sebagai pimpinan pelaksana, Pono (Soepono
Marsudidjojo) sebagai wakil pimpinan gerakan, dan Bono sebagai pimpinan
pelaksanan kegiatan yang di instruksikan untuk mengadakan persiapan-persiapan
menjelang pelaksanaan kegiatan.
Berikut beberapa faktor terjadinya G 30 S/PKI :
1.
Angkatan kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis
tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan
waktunya sampai meletusnya G 30 S PKI.
Pada awal tahun
1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC,
mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat
tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara
militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI
makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis
massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi
polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan
"rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan
"Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit
menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap
sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan
seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya
mereka.
Di akhir 1964 dan
permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan
PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para
pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan
tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas
setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat
dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan
1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi.
Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi
anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di
militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat
dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri
PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno
ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Pengangkatan
Jenazah di Lubang Buaya
Aidit memberikan
ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang
"perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara
tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para
komunis".
Rezim Sukarno
mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di
industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka
adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI
mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer,
menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam
angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata.
Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan
ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha
untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas
hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha
menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam
laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan
"angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk
mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
2. Isu sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah
beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu
perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut
Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal
ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa
hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.
3.
Isu masalah tanah dan
bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang
Pokok Agraria
(UU
Pokok Agraria)
dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU
Bagi Hasil)
yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia
Agraria
yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan
UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang
mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun
undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga
menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah
yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan
melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini
antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten
yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh
militer untuk membersihkannya.
Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga
dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua
tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain
juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam
kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal
ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September
tersebut).
4.
Faktor Malaysia
Negara Federasi
Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu
faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah
satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para
tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi
Angkatan Darat.
“
|
“ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para
demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang
negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana
Menteri Malaysia
saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap
Malaysia pun meledak.
“
|
”
|
Soekarno yang
murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara
Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan
melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi
Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia.
Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia"
ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen
Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan
bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan
skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini
akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di
Indonesia.
Posisi Angkatan
Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka
dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno
yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan
Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran,
Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya
disabotase dari belakang. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi
gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam
peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa
tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik
mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno,
seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat
tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya
meng"ganyang Malaysia".
“
|
“
Soekarno
adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang
menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri
tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak
mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak
mungkin menjadi boneka.
”
|
”
|
Di pihak PKI,
mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang
mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu
untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan
Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI
memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan
yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu
ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros
Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya
karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang
berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional
sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah
dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka
yang bertanggalkan 13
Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap
kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan
oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan
bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata,
"Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku,
Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak
sekarang."
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan
internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut
kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap
misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan
orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal
ini.
5.
Faktor Amerika
Serikat
Amerika Serikat pada waktu itu sedang
terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar
Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan
intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu)
kepada Adam
Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan
yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka
merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu
pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar,
hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal
8 Agustus 1965 yang mengeluhkan
bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak
memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada
Presiden Johnson tanggal 6
Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan
PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat
menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas
pembantaian di Jawa
Tengah, Jawa
Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan
korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar
dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada
militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak
memiliki banyak bukti-bukti fisik.
6.
Faktor Ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat
rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka
tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang
dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung
tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan
barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan
harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara
500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka
kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang
sehari-hari hanya makan bonggol
pisang,
umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak
dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian
mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat
atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash
terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa
Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.
C. Tawaran bantuan dari Belanda
Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan
untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah
Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda
akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total
terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk
Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah
RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada AS.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai
organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan
sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai
Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain
Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk,
Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan
sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll., melainkan kemudian juga dari
kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko
Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto
(Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III,
dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief
dan Kapten Untung Samsuri.
D. Isu Dewan Jenderal
Pada saat-saat yang genting sekitar
bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas
terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini,
Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan
membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam
operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum
yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
E. Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen
Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk
Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini,
yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah
pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan
adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa
perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika
Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara
untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data
tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes,
wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval",
yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously",
ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas
teleks untuk mengirimkan berita.
F. Isu Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini tidak ada bukti
keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya
bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat
sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan
Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel
Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak
yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah
dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA.
Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University),
Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing
Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia,
1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa
(Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État
in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).
G. Pemberantasan Gerakan G30S/PKI
1. Tanggal 1 Oktober 1965
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai sejak tanggal 1
Oktober 1965 sore hari. Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi dapat
direbut kembali tanpa pertumpahan darah oleh satuan RPKAD di bawah pimpinan
Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, pasukan Para Kujang/328 Siliwangi, dan dibantu
pasukan kavaleri. Setelah diketahui bahwa basis G 30 S/PKI berada di sekitar
Halim Perdana Kusuma, sasaran diarahkan ke sana.
2. Tanggal 2 Oktober
1965
Pada tanggal 2 Oktober, Halim Perdana Kusuma diserang oleh satuan RPKAD di
bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo atas perintah Mayjen Soeharto. Pada
pikul 12.00 siang, seluruh tempat itu telah berhasil dikuasai oleh TNI – AD.
3. Tanggal 3 Oktober 1965
Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD
yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang Buaya.
Setelah usaha pencarian perwira TNI – AD dipergiat dan atas petunjuk Kopral
Satu Polisi Sukirman yang menjadi tawanan G 30 S/PKI, tetapi berhasil melarikan
diri didapat keterangan bahwa para perwira TNI – AD tersebut dibawah ke Lubang
Buaya. Karena daerah terebut diselidiki secara intensif, akhirnya pada tanggal
3 Oktober 1965 titemukan tempat para perwira yang diculik dan dibunuh
tersebut.. Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang
bergaris tengah ¾ meter dengan kedalaman kira – kira 12 meter, yang kemudian
dikenal dengan nama Sumur Lubang Buaya.
4. Tanggal 4 Oktober 1965
Pada tanggal 4 Oktober, penggalian Sumur Lubang Buaya dilanjutkan kembali
(karena ditunda pada tanggal 13 Oktober pukul 17.00 WIB hingga keesokan hari)
yang diteruskan oleh pasukan Para Amfibi KKO – AL dengan disaksikan pimpinan
sementara TNI – AD Mayjen Soeharto. Jenazah para perwira setelah dapat diangkat
dari sumur tua tersebut terlihat adanya kerusakan fisik yang sedemikian rupa.
Hal inilah yang menjadi saksi bisu bagi bangsa Indonesia betapa kejamnya
siksaan yang mereka alami sebelum wafat.
5. Tanggal 5 Oktober
1965
Pada tanggal 5 Oktober, jenazah para perwira TNI – AD tersebut dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya disemayamkan di Markas Besar
Angkatan Darat.
6. Pada tanggal 6 Oktober
dengan surat keputusan pemerintah yang diambil dalam
Sidang Kabinet Dwikora, para perwira TNI – AD tersebut ditetapakan sebagai
Pahlawan Revolusi. Kemudian
Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional",
yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian
kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua
anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi
Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang
di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Dalam sebuah
Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet
berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas
penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang
terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari
rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11
Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha
perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain
di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang
berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan
pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Lima bulan setelah
itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas
melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil
"langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan
untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini
pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan
atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur
militer itu sampai Maret 1967. Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar
menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri,
ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya
diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Dalam bulan-bulan
setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang
dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau
dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan
ini terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Berapa jumlah orang yang
dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan
500.000 orang, sementara lainnya 2.000.000 orang. Namun diduga setidak-tidaknya
satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta
itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu “terbendung mayat".Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di Pulau Bali, yang
sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi
korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai
Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus
dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir
jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh
dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah
mereka yang sudah hangus. Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk
membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota
besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Cina" terjadi.
Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok
sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat secara
paksa. Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di
kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan
sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan
sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Empat tapol,
Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus
Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Sesudah kejadian
tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30
September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian
Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai
kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia
setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya
dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan
dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata.
Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan
hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan hingga kini.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasmaja, dan Putmainah.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasmaja, dan Putmainah.
H. Korban G30S/PKI
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
- Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
- Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
- Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
- Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
- Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
- Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris
Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau,
Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha
pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi
korban:
- Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
- Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
- Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang
ke suatu lokasi di Pondok
Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
I.
Pasca kejadian
Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto
di sebelah kanan
Literatur propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G30S
banyak beredar di masyarakat dan menuding PKI sebagai dalang peristiwa
percobaan "kudeta" tersebut.
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI
AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka
Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan
pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira
tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap
pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh
Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI
melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta)
dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik
PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara
tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan
sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk
mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau
rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara
angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik
dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan
organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia"
dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran
CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno:
"Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda
telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio
kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari
kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden
Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah:
“
|
Saya
perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat
pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan
dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia
yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri
di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali
berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip
Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK
telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara
Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada
negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan,
dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara,
Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas
Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto,
sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya
perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan
sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
|
”
|
dinamakan pergerakan 30 September, dan
para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan
dalam negeri Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala
kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan
orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat
Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen
Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha
perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain
di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang
berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang
Indonesia."
J.
Penangkapan dan pembantaian
Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa
ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota
dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu
pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp
tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa
Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).
Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan
yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut
dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang
menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara,
kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng
Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat
tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan
satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban
pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi,
tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung
dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan
pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan
itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan
persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap
membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada
kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat.
Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu
dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di
permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine
Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke
dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para
petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah
hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa
dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka.
Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa"
terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi
mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja
dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000
orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak
tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus
Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak
kudeta itu.
K. Supersemar (surat sebelas maret)
Lima bulan setelah
itu, pada tanggal 11
Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah
Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk
mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya.
Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang
PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden
tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa
agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan
diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
L.
Pertemuan Jenewa, Swiss
Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke
tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru dengan
para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi
multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank,
General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American
Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase
Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan
murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon
Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di situs video google) yang
menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan
perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di
Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan
ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi
pro liberal sejak saat itu diterapkan.
M. Penumpasan G30S/PKI
Penumpasan G30S/PKI
1965 Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI,
atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai
kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang
lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan
diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober),
Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang
dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan
500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang.
Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam
bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara,
kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti
barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan
massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa
Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Pada akhir
1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI
telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di
kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu
militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang
terketahui dan melakukan pembantaian keji.
a.
Penumpasan di Jakarta
Usaha penumpasan G 30 S/ PKI sedapat
mungkin di lakukan tanpa bentrokan senjata. Anggota pasukan Batalyon
530/Brawijaya minus 1 Kompi, berhasil di insafkan dari pemberontakan dan
berhasil ditarik ke markas Kostrad di Medan Merdeka Timur. Anggota Batalyon
545/Diponegorosekitar puluk 17.00 di tarik mundur oleh pihak pemberontak ke
Lanuma Halim Perdanakusuma. Sekitar pukul 19.15pasukan RPKAD sudah berhasil
menduduki RRI dan Gedung Telekomunikasi dan mengamkan pemberontakan tanpa
bentrokan senjata. Sementara itu pasukan-pasuka yang lain berhasil pula
mengamkan pemberontakan. Setelah diketahui bahwa pusat pemberontakan di sekitar
Lanuma Halim PerdanaKusuma, langkah selanjutnya adalah membebaskan Pabgkalan
Udara Halim. Banyak kejadian penting terjadi pada penumpasan G 30 S/PKI.
Sekalipun peranan PKI makin terungkap sebagai dalang peristiwa G 30 S/PKI dan
demonstrasi menuntut pembubaran PKI semkain memuncak, namun presiden Soekarno
belum menganbil langkah – langkah ke arah penyelesainan politik daripada
masalah G 30 S/PKI sebagaimana di janjikanya. D.N Aidit dalam pelarianya,
tanggal Oktober 1965 mengiri surat
kepada Presiden, yang mengusulkan supaya melarang adanya pernyataan-pernyataan
yangbersifat mengutuk G 30 S serta melarang adanya Tuduh menuduh serta salah
menyalahkan, diharapkan amarah Rakyat terhadap PKI reda, namun aksi-aksi terus
berjalan. Dalam pada itu Papelrada – Papelrada ( Penguasa Pelaksana Dwikora
Daerah ) yakni Kodam, berturut – turut mebekukan PKI dan Ormas-ormasnya.
b.
Penumpasan
Di Jawa Tengah
Diantara pemberontakan G 30 S/PKI daerah yang paling gawat
keadaannya adalah Jakarta dan Jawa Tengah.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap
Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono
(Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober
1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan
Dewan Revolusi. Pemberontakan PKI ini juga terjadi di Solo, Salatiga, Klaten,
Boyolali, Semarang dengan menguasai beberapa tempat penting sperti RRI dan
Gedung Telekominikasi.
Jawa tengah merupakan basis PKI yang kuat, oleh karena itu
Aidit memilih Jawa Tengah sebagai tempat pelariannya. Akan tetapi dengan usaha
dari komando ABRI berturut-turut kota yang pernah dikuasai oleh pihak G 30 S/PKI berhasil direbut kembali. Sebelum
tertangkap tanggal 22 November 1965 di Jawa Tengah, D. N Aidit mengeluarkan “Instruksi Tetap”
pada tanggal 10 November 1965 yang ditujukan kepada seluruh CDB PKI seluruh
Indonesia. Setelah dikeluarkan nya Instruksi Tetap Aidit gerakan pengacauan PKI
mulai melemah dan pembubaran serat pembakaran Bendera PKI dialkukan. Entah
karena alasan apa kurang jelas karena Keinsafan atau taktik semata sesuai
dengan Istruksi tetap Aidit. Terbukti PKI masih mendirikan SPR (Sekolah perlawanan Rakyat), KKPR
(Kursus Kilat Perang Rakyat), serta
menyusun Kompro-kompro (Komite Proyek)
sebagai Basis menuju Camback nya PKI. Dengan pembentukan badan-badan diatas
terbukti PKI juga tetap melancarkan usaha pengukuhan kembali. Tetapi penumpasan
PKI di berbagai daerah tetap dilaksakan. Misalnya di Blitar Selatan PKI
menpengaruhi rakyat dengan 3T (tidak
tahu, tidak mengerti, tidak kenal) dan operasi penumpasan ini diberi nama operasi Trisula dilaksakan pada tanggal
3 juli 1965 dan mengimbangi 3T dengan 3M ( Menyerah,
Membantu, atau Mati) penumpasan PKI dan ormas-ormasnya pun terus-menerus
dilakukan.
Penyelesaian Aspek politik
sebagaimana diputuskan dslam sidang kabinet Dwikora 6 Oktober 1965 akan
ditangani langsung oleh presiden Soekarno. Dan aksi penghapusan terhadap Pki
terus meningkat, yang dipelopori oleh KAPPI, KAMI, KAPI, KABI, KASI, KAWI,
KAGI, dan lainnya. Dan kemudian membulatkan kesatuan dalam barisan dan
membentuk Front Prancasila.
Setelah lahirnya Front Pancasila
tuntutan pembubaran PKI terus meningkat. Konflik politik makin menjurus dan situasi
ekonomi semakin memburuk. Lalu tercetuslah Tri Tuntunan Hati Nurani Rakyat (
Tritura). Pada tanggal 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan
Front Pancasial ini mendatangi gedung DPR-GR mengajajukan 3 buah Tuntutan yaitu
:
1. Pembubaran
PKI
2. Pembersihan
Kabinet dari Unsur-unsur G-30-S/PKI;
3. Penurunan
harga/perbaikan ekonomi.
Perkembangan selanjutnya mengenai masalah tuntutan pembubaran PKI,
dilaksanakan oleh Letnan Jendral Soeharto tanggal 12 maret 1966 sehari setelah
menerima Surat Perintah 11 Maret (SP 11 Maret/Supersemar). Sejak itu dimulailah
koreksi total atas segala penyelewengan yang dilakukan Orde Lama. Karena itu
tanggal 11 maret 1966 sebagai permulaan Orde Baru.
N. Peringatan G30S/PKI
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI).
Hari berikutnya, 1
Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa
pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan
di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada
tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara
bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya
dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur
bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, para eks
pendukung PKI mengadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa
pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok
Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka
memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas
academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban
tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan
Putmainah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peristiwa G 30S/PKI yang lebih dikenal
dengan peristiwa pemberontakan yang dilakukan PKI, yang bertujuan untuk
menyebarkan paham komunis di Indonesia. Pemberontakan ini menimbulkan banyak
korban, dan banyak korban berasal dari para Jendral Angkatan Darat Indonesia.
Gerakan PKI ini menjadi isu politik untuk menolak laporan pertanggung jawaban
Presiden Soekarno kepada MPRS. Dengan ditolaknya laporan Presiden Soekarno ini,
maka Indonesia kembali ke pemerintahan yang berazaskan kepada pancasila dan UUD
1945.
Peristiwa G30S/PKI 1965 yang terjadi di
Indonesia telah memberi dampak negatif dalam kehidupan sosial dan politik
masyarakat Indonesia yaitu Dampak politik dan Dampak Ekonomi. Setelah
supersemar diumumkan, perjalanan politik di Indonesia mengalami masa transisi.
Kepemimpinan Soekarno kehilangan supermasinya. MPRS kemudian meminta Presiden
Soekarno untuk mempertanggung jawabkan hasil pemerintahannya, terutama
berkaitan dengan G30S/PKI. Dalam Sidang Umum MPRS tahun 1966, Presiden Soekarno
memberikan pertanggung jawaban pemerintahannya, khususnya mengenai masalah yang
menyangkut peristiwa G30S/PKI.
Cara-cara yang dilakukan oleh partai
komunis dalam usaha kudeta yaitu merebut kekuasaan dari tangan pemerintah
sangat kejam. Oknum PKI ini melancarkan isu yaitu Isu Dewan Jendaral yaikni yang mengungkapkan bahwa adanya beberapa
petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk
menggulingkannya. Hal ini dilakukan untuk mencari kambing hitam atas rencana
kudeta G 30 S/PKI terhadap Pemerintah. G 30 S/PKI 1965 sampai saat ini masih
menyisakan misteri yang membingungkan, dan kejadian tersebut juga masih sangat
terasa begitu menegerikan. Isu bahwa adanya keterlibatan Soeharto pun mencuak
setelah berjalanya Orde Baru sampai pada keruntuhannya. Sejarah panjang terjadi
di Indonesia yang membuat bangsa lebih dewasa dalam menyikapi peristiwa yang
dpat menjadi catatan sejarah Bangsa. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari
setiap kejadian, untuk Menuju pada perubahan ke arah yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar